IKN benar-benar inklusif? Ultimatum pembongkaran rumah warga asli indikasi ada yang akan disingkirkan
Di jantung Kalimantan Timur, di mana matahari menyinari hutan hujan lebat dan gemericik sungai bergema di lembah-lembah, sebuah visi besar terbentang: Ibu Kota Nusantara (IKN). Kota yang menjanjikan kemajuan, inovasi, dan masa depan cerah.
Namun apakah kota itu benar-benar inklusif? Bisakah ia menjembatani jurang antara modernitas dan tradisi?
Otoritas IKN, dengan rencana megah dan keajaiban arsitekturnya, berdiri sebagai pembawa perubahan. Mereka memegang cetak biru dan memegang otoritas, visi mereka terukir dalam baja dan kaca. Mereka berbicara tentang kota pintar, bangunan berkelanjutan, dan kemakmuran ekonomi. Namun, ketika mereka mendirikan bangunan besar, mereka membayangi rumah-rumah sederhana penduduk setempat.
Bayangkan ini: jalanan Sepaku yang bermandikan sinar matahari, tempat generasi demi generasi menenun kehidupan mereka ke dalam jalinan tanah. Di sini, masyarakat adat Balik dan Paser tumbuh subur, adat istiadat dan kearifannya diwariskan seiring berjalannya waktu. Namun kini, ultimatum bergema di balik gemerisik dedaunan: “Bongkar rumah Anda dalam waktu tujuh hari.”
Fatwa Otoritas IKN bergema bagaikan guntur. Masyarakat setempat, yang tangannya sudah kapalan karena mengolah tanah, gelak tawanya menggema di rumah-rumah kayu, kini dihadapkan pada pilihan yang mustahil. Rumah mereka, yang dibangun dengan cinta dan keringat, dianggap “ilegal” oleh para arsitek kemajuan. Oposisi biner semakin menajam: IKN, mercusuar modernitas, versus masyarakat lokal yang berpegang teguh pada tradisi.
“Pergi,” mereka diberitahu. “Beri jalan untuk kemajuan.” Tapi bagaimana dengan kenangan yang terukir di dinding? Gelak tawa anak-anak, aroma rempah-rempah, bisik-bisik cerita di sekitar api unggun? Bisakah kemajuan mengukur bobot harta tak berwujud ini?
Otoritas IKN berbicara tentang inklusivitas, namun ultimatum mereka justru merobek tatanan masyarakat. Mereka menjanjikan sebuah kota untuk semua orang, tapi suara siapa yang didengar? Balik dan Paser, yang akarnya tertanam dalam di tanah, malah terkatung-katung. Pertentangan biner menjadi sangat mencolok: menara kaca yang indah versus rumah kayu, arsitek perubahan versus penjaga tradisi.
Saat matahari terbenam di Sepaku, bayangan memanjang. Masyarakat setempat berkumpul, hati mereka berat. Mereka menyimpan kenangan mereka erat-erat, perlawanan mereka membara. “Kami tidak ilegal,” bisik mereka. “Rumah kami terjalin di tanah ini, kisah kami terukir di setiap baloknya.”
Maka, peperangan pun berkecamuk—benturan antara baja dan kayu, antara kemajuan dan tradisi. Apakah IKN benar-benar inklusif? Mungkin, jika mendengarkan bisikan sungai, gelak tawa anak-anak, dan ketangguhan orang-orang yang menyebut tanah ini sebagai rumah.
Otoritas IKN, dengan rencana megah dan keajaiban arsitekturnya, berdiri sebagai pembawa perubahan. Mereka memegang cetak biru dan memegang otoritas, visi mereka terukir dalam baja dan kaca. Mereka berbicara tentang kota pintar, bangunan berkelanjutan, dan kemakmuran ekonomi. Namun, ketika mereka mendirikan bangunan besar, mereka membayangi rumah-rumah sederhana penduduk setempat.
Bayangkan ini: jalanan Sepaku yang bermandikan sinar matahari, tempat generasi demi generasi menenun kehidupan mereka ke dalam jalinan tanah. Di sini, masyarakat adat Balik dan Paser tumbuh subur, adat istiadat dan kearifannya diwariskan seiring berjalannya waktu. Namun kini, ultimatum bergema di balik gemerisik dedaunan: “Bongkar rumah Anda dalam waktu tujuh hari.”
Fatwa Otoritas IKN bergema bagaikan guntur. Masyarakat setempat, yang tangannya sudah kapalan karena mengolah tanah, gelak tawanya menggema di rumah-rumah kayu, kini dihadapkan pada pilihan yang mustahil. Rumah mereka, yang dibangun dengan cinta dan keringat, dianggap “ilegal” oleh para arsitek kemajuan. Oposisi biner semakin menajam: IKN, mercusuar modernitas, versus masyarakat lokal yang berpegang teguh pada tradisi.
“Pergi,” mereka diberitahu. “Beri jalan untuk kemajuan.” Tapi bagaimana dengan kenangan yang terukir di dinding? Gelak tawa anak-anak, aroma rempah-rempah, bisik-bisik cerita di sekitar api unggun? Bisakah kemajuan mengukur bobot harta tak berwujud ini?
Otoritas IKN berbicara tentang inklusivitas, namun ultimatum mereka justru merobek tatanan masyarakat. Mereka menjanjikan sebuah kota untuk semua orang, tapi suara siapa yang didengar? Balik dan Paser, yang akarnya tertanam dalam di tanah, malah terkatung-katung. Pertentangan biner menjadi sangat mencolok: menara kaca yang indah versus rumah kayu, arsitek perubahan versus penjaga tradisi.
Saat matahari terbenam di Sepaku, bayangan memanjang. Masyarakat setempat berkumpul, hati mereka berat. Mereka menyimpan kenangan mereka erat-erat, perlawanan mereka membara. “Kami tidak ilegal,” bisik mereka. “Rumah kami terjalin di tanah ini, kisah kami terukir di setiap baloknya.”
Maka, peperangan pun berkecamuk—benturan antara baja dan kayu, antara kemajuan dan tradisi. Apakah IKN benar-benar inklusif? Mungkin, jika mendengarkan bisikan sungai, gelak tawa anak-anak, dan ketangguhan orang-orang yang menyebut tanah ini sebagai rumah.
Namun untuk saat ini, ultimatum masih sangat berat, dan oposisi biner masih ada – sebuah kota kaca yang menjulang dengan latar belakang rumah-rumah kayu, keseimbangan antara masa lalu dan masa depan.
Konon katanya ultimatum telah dibantah dan Otoritas IKN menyatakan tidak pernah memaksa pembongkaran. Namun pertanyaan mendasar tidaklah sirna: Bisakah modernitas menyatu dengan tradisi? Jika tidak, IKN kota inklusif akan menjadi utopia semata.
Komentar
Posting Komentar