Kebaikannya bikin saya curiga: sebuah kisah perjalanan di pedalaman Kalimantan

"Kadang-kadang orang yang berperilaku terlalu baik menyimpan niat jahat di dalam hatinya", kata saya di dalam hati ketika mendapat perlakuan yang sangat baik di sebuah desa pedalaman di Kalimantan. Begini kisah singkatnya.

Perjalanan ke Kutai Barat

Suatu hari di bulan Oktober 2023 saya mengadakan perjalanan ke Kabupaten Kutai Barat di daerah pedalaman Kalimantan Timur. Seperti biasa, saya memilih untuk membawa sepedamotor karena kendaraan itu gesit untuk perjalanan sampai ke medan yang kurang bersahabat. 

Untuk bisa membawa sepeda motor saya harus menumpang kapal dari Samarinda ke pelabuhan Melak. Melak adalah sebuah kota perdagangan kecil di tepi sungai Mahakam, yang sudah sejak dahulu kala menjadi hub distribusi barang-barang ke wilayah dataran tinggi. 

Pelayaran sepanjang sungai Mahakam menempuh waktu sekitar 20 jam dari Samarinda. Namun karena kapalnya sangat penuh dengan muatan manusia dan barang, maka perjalanan kali ini lebih lama 1.5 jam. Saya tiba di Melak pada jam 04:30 pagi.

Tujuan akhir saya adalah Barong Tongkok untuk menghadiri resepsi pernikahan keponakan. Namun pada waktu itu juga ada rangkaian kegiatan Festival Dahau (sejenis erau) untuk merayakan hari jadi ke-24 kabupaten Kutai Barat.  

Maka saya memutuskan untuk tidak segera pulang ke Samarinda. Saya harus meliput berbagai peristiwa seperti lomba tari kreasi Dayak, lomba ketinting (perahu bermotor), lomba perahu naga. Saya juga mengunjungi beberapa kampung yang memiliki potensi menarik untuk divideokan.

Namanya terkesan jauh sekali dan perjalanan yang asyik

Ketika mesih kecil saya pernah ikut ayah dan beberapa orang tua pergi ke sebuah hutan durian di Lingau. Kami hanya pergi ke hutan dan tidak ke kampung, sehingga selama puluhan tahun saya tidak memiliki gambaran tentang kampung Lingau. 

Maka ketika di kampung Melapeh saya diberitahu oleh Pastor Hendrik Nuwa bahwa jalan darat ke sana sudah bagus, seluruhnya sudah diaspal dan dicor, dan perjalanan hanya sekitar 60 menit, saya pun segera tancap gas. Benar juga, jalannya sangat bagus, dan pemandangan alam perbukitannya indah sekali. Suasana jalan yang sepi membuat saya sangat menikmati perjalanan walaupun seorang diri saja. 

Di dalam perjalanan saya melewati obyek wisata Gunung S di kampung Lakan Bilem. Saya pernah ke sana tahun lalu bersama anak saya Hayamaputra. Jadi saya tidak mampir kali ini. 

Tidak jauh dari Gunung S, di lembah kampung Lakan Bilem, ada sebuah obyek wisata alam yang disebut "Bumi Perkemahan Batuq Bura". Nama dalam bahasa Dayak Benuaq itu berarti batuh putih.  Letaknya di tepi sungai yang sangat jernih dan sejuk dengan suasana murni alami. Saya menikmati piknik seorang diri tanpa teman di tempat itu. Ada juga puluhan pengunjung lain. 

Dari perkemahan Batuq Bura ke tujuan akhir saya Intu Lingau jalan sudah dicor dan hanya ada beberapa jembatan yang belum selesai dikerjakan. Ini juga yang bikin saya senang bepergian di Kutai Barat karena banyak sekali jalan ke kampung terpencil yang sudah diaspal atau dicor beton. 

Mencari warung makan

Setiba di kampung Intu Lingau (dahulu seingat saya kami sebut Lingau saja) saya tidak singgah, melainkan terus berkendara sampai batas akhir jalan cor yang berada sudah di luar pemukiman. Kemudian saya mutar-mutar kampung sambil mencari warung makan. Maklum waktu sudah menunjukkan jam alamiah untuk lapar. 

Di kampung-kampung Dayak biasanya tidak ada orang yang membuka warung makan. Kalau beruntung, bisa juga dapat warung makan, yang dikelola orang pendatang. 

Merasa haus saya pun mampir di sebuah kios penjual barang-barang  kelontong untuk membeli air mineral botolan. Kios itu juga menjual cukup banyak barang, termasuk juga BBM yang disimpan di dalam beberapa jerigen besar di dalam rumah. 

Sebelum saya menunjukkan bahaya menyimpan BBM di dalam rumah, anak dari pemilik kios menyampaikan bahwa mereka sadar akan bahaya itu. Cuma belum ada tempat penyimpanan di luar rumah.

Sambil minum saya bertanya kepada lelaki muda, anak pemilik kios, tentang warung makan. Waktu itu jam satu siang dan saya bilang mulai lapar. Sebenarnya tidak masalah juga jika tidak ada warung makan, sebab saya bisa segera pulang dan cari makan di Bumi Perkemahan Batuq Bura yang saya kunjungi sebelumnya.

Ditawari makanan tidak bisa menolak

Si lelaki muda bilang bahwa warung makan ada di pasar. Tadi saya sudah berkeliling-keliling dan tidak melihat pasar. Rupanya dalam benak saya pasar adalah tempat yang ramai, banyak orang. Saya lupa bahwa kampung itu cukup terpencil sehingga tidak mungkin ada keramaian seperti pasar di kota. 

Belum lagi saya ambil posisi di atas sepedamotor, si lelaki muda menawarkan untuk makan di rumahnya (di kios itu). "Makan di sini saja", ujarnya dalam bahasa Benuaq. "Tapi kami tidak punya apa-apa; cuma ada nasi dan sedikit ikan." 

"Waah...! Terima kasih", saya berucap nyaris tidak percaya. Orang Dayak aslinya kebanyakan tidak punya kata untuk terima kasih. Jadi mereka menggunakan bahasa Indonesia. Sebagai orang Dayak yang sudah assimilated (menyerap budaya luar) kata itu otomatis keluar dari mulut saya. 

Kenapa saya nyaris tidak percaya? Karena saya belum memperkenalkan diri. Saya belum menyebut nama, di mana lahir dan dibesarkan, dan di mana saya tinggal dan bekerja. Saya cuma berbahasa Benuaq dengan fasih, sehingga tentu cukup meyakinkan bahwa juga dari kaum mereka. Penduduk kampung Intu Lingau adalah orang Dayak Benuaq.

Saya pun mengabaikan keinginan mencari warung makan, dan langsung masuk ke rumah itu. Saya tidak punya alasan untuk menolak kebaikan. 

Lalu saya disuguhi dengan nasi, ikan dan air minum (teh dan air putih). Ada juga semangkuk air cuci tangan. 

Naluri religius mencuat

Sebenarnya saya agak takut-takut untuk makan, karena pikiran saya sudah kerasukan cerita orang dahulu. Di beberapa daerah dulu sering ada cerita orang luar diracun untuk ngetes ilmunya. 

Tapi pikiran positif mengatakan tidak mungkin saya dianggap "berilmu"; tampang saja tidak beraura mistik. Saya yakin aura yang memancar dari wajah saya adalah aura kebaikan. 

Ini mengingatkan saya akan kesaksian seorang profesor Jepang yang beberapa kali bilang, "Saya dulu mengundang Pak Martin (ke Jepang) karena saya yakin dia orang baik." Sebelumnya saya sempat bertemu beliau pertama kali sekitar 10 menit saja. Buat saya pernyataan itu menguatkan semangat hidup. 

Saya juga yakin, Tuhan akan melindungi orang baik, termasuk saya. Wow... tiba-tiba menjadi lebih religius dari pada biasa. Ini mengingatkan saya akan dimensi-dimensi religiositas menurut sosiolog Charles Y. Glock (1919-2018). 

Menurut Glock religiositas terdiri dari lima dimensi, yaitu dimensi kepercayaan, pengetahuan, pengalaman, praktik dan konsekuensi. Dalam kasus tawaran makan ini dimensi pengalaman mencuat sebagai sebuah pengalaman religius yang bermakna.

Didukung dengan keyakinan bahwa abad ke-21 bukan lagi jamannya orang racun-meracun sembarangan, saya pun makan dengan lahapnya. 

Orang muda itu bernama Atak

Lelaki muda itu memperkenalkan diri dengan nama Atak. Atak tidak tinggal di kampung Intu Lingau, melainkan di sebuah kampung Dayak Tonyoi karena dia beristerikan perempuan Tonyoi. Rumah kios itu adalah milik orangtuanya dan dia kebetulan pulkam waktu itu. 

Terima kasih, saudaraku Atak. Terimakasih atas kebaikan yang mengharukan, yang pasti mengalir dari hati yang baik. Mohon maaf bila saya telah menaruh curiga sebelumnya. Atak mungkin tidak tahu bahwa saya curiga, karena saya tidak memperlihatkannya.  

Sekarang terbukti bahwa Atak memang tulis hati. Saya baik-baik saja. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dialog Etnografi Borneo: Membangun Pemahaman tentang Keberagaman Kalimantan

Argumen antropologis pentingnya warga Balik dan Paser di IKN tetap hidup berkomunitas

IKN benar-benar inklusif? Ultimatum pembongkaran rumah warga asli indikasi ada yang akan disingkirkan

Speedboat ke pedalaman Mahakam

Speedboat ke pedalaman Mahakam
Martinus Nanang di dermaga Samarinda Ilir