Ibu Kota Nusantara: Optimisme atau Pesimisme? Diskusi Panel Prodi Psikologi Universitas Mulawarman
"IKN: Optimisme atau Pesimisme?" adalah tema pokok diskusi panel di Hotel Grand Verona, Samarinda, 7 Juli 2023. Diskusi membicarakan Ibu Kota Nusantara (IKN) dari perpektif psikologi pembangunan, antropologi budaya dan lingkungan. Penyelenggara diskusi adalah Program Studi Psikologi FISIP Universitas Mulawarman dengan moderator Dr. Silviana Purwanti dari Prodi Ilmu Komunikasi.
![]() |
Moderator & Panelis (Foto: Bella P) |
Apa kata para Panelis?
Prof Kuntjoro, guru besar Fakultas Psikologi UGM, menyatakan pentingnya menemukan true problem di dalam proses IKN, supaya bisa ditemukan solusi yang tepat. Untuk itu dia membagi proses ke dalam 3 tahap: Pra-konstruksi, konstruksi, dan operasional.
Tahap pra-konstruksi dan konstruksi memakan waktu yang relatif pendek; sedangkan operasional akan berlangsung selamanya. Tentang tahap konstruksi dikatakan, banyaknya pekerja dari luar Kaltim yang tidak membawa isteri bisa mendorong banyaknya kawin siri atau bahkan prostitusi. Terkait kurangnya pekerja dari Kaltim, perlu diadakan perjanjian untuk memberi kuota pekerja dari daerah ini.
Untuk jangka panjang (tahap operasional) tetap saja ada tantangan kesempatan kerja bagi orang daerah; apalagi ada anggapan bahwa orang daerah pemalas.
Martinus Nanang dari Pogram Studi Pembangunan Sosial FISP Unmul yang berbicara mengenai perubahan kebudayaan menyatakan perubahan kebudayaan belum bisa terdeteksi dengan jelas saat ini karena proses pembangunan IKN baru saja dimulai.
Tapi proses perubahan kebudayaan masyarakat adat (suku Paser/Balik) sudah terlihat sejak beroperasinya perusahaan pembalakan kayu (HPH) tahun 1969 yang diikuti masuknya transmigrasi (1977), hutan tanaman industri (1983), penambangan batubara dan perkebunan sawit, hingga akhirnya IKN. Seluruh proses itu mengikis habis dasar kebudayaan mereka, yaitu mata pencaharian berbasis lahan dan hutan: berladang sangat dibatasi bahkan akhirnya tidak mungkin; meramu hasil hutan tidak mungkin lagi.
Meski demikian, ternyata orang Paser di wilayah IKN menerima kehadiran IKN dengan alasan akan membawa kemajuan, peluang berusaha, peluang kerja, dan sebagainya. Sebagian lagi tidak senang dengan IKN karena mengkhawatirkan eksistensi, identitas, mata pencaharian, relasi dengan pendatang dan masa depan.
Panelis dari Fakultas Kehutanan Unmul, Kiswanto, Ph.D, menyebut IKN bukan membangun hutan kota melainkan kota hutan dengan area hijau mencapai 75%. Namun, kota hutan bukan sekedar kota hijau karena di dalamnya ada satwa.
Hutan adalah kawasan yang ditetapkan sebagai hutan, meskipun bisa saja tanpa tutupan atau vegetasi hutan. Kenyataannya, di wilayah IKN ada banyak lahan terbuka, terutama bekas penambangan batubara. Jadi ada tugas atau pekerjaan untuk merestorasi hutan. Itu bukan pekerjaan yang mudah dan harus dilakukan dengan cara yang luar biasa.Mispoyo dari Bappeda Kaltim menyampaikan informasi yang agak umum menyangkut sikap terhadap tahun politik 2024 di mana kebersamaan tetap harus dijaga. Untuk menghadapi lapangan kerja diupayakan adanya setifikasi lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Dikatakan juga bahwa kualitas lingkungan di IKN akan baik.
Produk domestik regional bruto (PDRB) Kaltim sebesar 921 triliun yang dikembalikan untuk membangun Kaltim hanya 17an triliun (mungkin tahun depan akan naik menjadi 20 triliun). Dengan latar belakang itu IKN sesungguhnya membantu percepatan pembangunan di Kaltim.
Q&A: Hutan adat dan Lapangan kerja
Karena keterbatasan waktu hanya ada dua pertanyaan dari peserta. Gabriel Paskalis Puma mahasiswa Prodi Pembangunan Sosial (Pemsos) menanyakan kemungkinan untuk mengalokasikan wilayah hutan kepada berbagai masyarakat adat di seluruh Indonesia. Jawaban panelis senada: tidak mungkin. Lebih penting untuk memberi pengakuan dan penguata kepada masyarakat adat yang sudah ada (existing).
Terhadap pertanyaan dari Bella Paramitha (alumni Pemsos) mengenai lapangan kerja, Mispoyo menegaskan banyaknya peluang di luar sebagai ASN. Martinus Nanang, yang sepakat dengan Mispoyo, juga menyebut akan ada pekerjaan yang menuntut kompetensi tinggi, sehingga akan ada persaingan tingkat tinggi dengan orang yang berlatar belakang akademik dari perguruan tinggi terbaik di dunia.
Di sisi lain Prof. Kuntjoro berpendapat, orang yang memiliki kemampuan tinggi tidak perlu hanya mencari pekerjaan di IKN; kalau perlu bekerjalah di luar negeri.
Optimis atau pesimis? You decide!
Komentar
Posting Komentar