Beranikah Otorita IKN mengadopsi model Simpukng dalam pengelolaan hutan di Ibu Kota Nusantara?

Peneliti CSF Unmul di dalam simpukng
Pada 14 April saya ke Jakarta untuk berpartisipasi di dalam kegiatan konsinyering penyusunan rancangan peraturan kepala Otoritas IKN tentang pengakuan kearifan lokal dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 

Pada diskusi itu saya menyampaikan deskripsi tentang karakteristik masyarakat adat di IKN, dengan fokus pada orang Paser Balik dan Semunte. Saya tidak sempat berbicara banyak tentang kearifan lokal; hanya sedikit menyebut tentang pengelolaan hutan tradisional Dayak yang disebut "simpukng".

Meskipun ketika dihubungi oleh OIKN dikatakan bahwa saya diminta untuk menjadi anggota tim penyusun kebijakan, saya kira yang diharapkan dari saya cuma sampai kegiatan konsinyering tersebut. Jadi saya hendak melanjutkan partisipasi dengan "berbicara" melalui media ini.

Lima unsur kearifan lokal

Berbagai referensi menampilkan definisi-definisi kearifan lokal yang sering berbeda. Baiklah dicari titik temunya. Komponen-komponen berikut dapat ditemukan di dalam banyak definisi.

  1. Tradisi: kearifan lokal diturunkan dari generasi ke generasi (biasanya secara lisan). Ruang lingkupnya terbatas pada kelompok sosial dan budaya tertentu.
  2. Memuat dua "roh" pokok kebudayaan secara tersembunyi, yaitu nilai dan norma.  "Nilai" adalah ide tentang apa yang baik, benar, dan adil. "Norma" adalah ide tentang perilaku yang baik, benar dan adil. Norma diturunkan dari nilai. Kalau mau digali lebih dalam lagi, nilai dan norma bersumber dari "kepercayaan", yaitu paradigma ideologis tentang dunia (worldview). Misalnya, kepercayaan akan kesatuan alam dan manusia (ko-esensi) melahirkan nilai bahwa alam sama pentingnya dengan hidup  manusia. Perilaku yang baik dan benar adalah merawat dan melindungi hutan.
  3. Pengetahuan: Kelompok masyarakat, sebagian atau seluruhnya, tahu tentang tradisi, kepercayaan, nilai, dan norma tersebut.
  4. Praktik dan ekspresi: Apa yang diketahui dan dihayati sebagai baik, benar, dan adil tersebut dipraktikkan atau diekspresikan di dalam komunitas, baik di masa sekarang maupun di masa lampu.
  5. Modalitas sebagai cara mengekspresikan, mewujudkan, atau menjalankan suatu kearifan lokal. Modalitas bisa sangat sederhana, bisa juga kompleks. Modalitas pengelolaan hutan buah (simpukng) dan tana ulen (hutan candangan orang Kenyah) itu cukup kompleks.   
Pengetahuan atau dokumen tentang kearifan lokal yang memuat lima unsur tersebut secara detail kiranya bisa dianggap cukup komprehensif. 

"Simpukng" sebagai kearifan ekologis suku Dayak

Simpukng atau munaan (Bahasa Benuaq) di Kalimantan Timur umumnya disebut lembo. Pada suku Paser disebut sipukng dan orang Bahau menyebutnya lepu'un. Saya kira simpukng terdapat di semua rumpun dan sub-suku Dayak di Borneo dengan nama-nama yang berbeda. 

Buah dari simpukng
Simpukng disebut "kebun buah," tetapi itu tidak seluruhnya tepat. Benar bahwa tumbuhan dominan adalah buah-buahan, tetapi tidak hanya itu. Tanaman buahnya pun tidak monokultur, melainkan multikultur, seperti: beragam jenis mangga, beragam jenis rambutan, durian, cempedak, dan banyak lagi. Biasanya tanaman utama adalah tanaman endemik Kalimantan.

Menurut Prof. Paulus Matius, pakar dendrologi dari Universitas Mulawarman, simpukng memenuhi kebutuhan manusia dan satwa akan hal-hal berikut:

  1. Buah-buahan.
  2. Makanan. 
  3. Rempah-rempah.
  4. Bahan bangunan. 
  5. Obat.
  6. Perlengkapan ritual.
  7. Kayu bakar.
  8. Pakan satwa liar.
  9. Tanda kepemilikan lahan tradisional (secara adat).
Penelitian pada simpukng orang Benuaq oleh Matius dkk. (1994) mengidentifikasi 25 jenis buah dan 22 jenis non-buah (pohon); Tjwa SJM (2000) menemukan 33 jenis buah dan 16 non-buah (pohon). Pada simpukng orang Tonyooi (Tunjung) Sardjono (1995) menemukan 127 jenis tumbuhan berkayu (pohon, semak, bambu, palem). 

Penelitian yang dilakukan oleh Lahajir tahun 2005 (Prokal 25/12/2005)  menemukan 700an tumbuhan yang menurut orang setempat memiliki khasiat pengobatan. 

Ternak sapi dalam simpukng
Dari gambar simpukng Benuaq di kampung Pintuq di Kabupaten Kutai Barat ini terlihat bahwa simpukng juga menjadi sumber pangan bagi ternak sapi, dan tentunya bisa juga untuk kerbau. Di dalam simpung tersebut bahkan terdapat pohon racun yang biasa digunakan untuk anak sumpit orang Dayak. Di masa lalu orang sering biasa berburu di dalam simpukng, terutama pada musim buah. 

Dari data ini terlihat bahwa simpukng memiliki memiliki karakteristik hutan yang kompleks. Simpukng adalah model agroforestry tradisional yang memiliki nilai ekonomis, ekologis, sosial dan legal. Tulisan ini tidak untuk membahas semua nilai tersebut secara mendalam.  

Tradisi agroforestry ini pernah ingin digerakkan oleh Bupati Kutai Barat Ismail Thomas. Tetapi keinginan tersebut rupanya tidak diwujudkan oleh masyarakat karena hanya disampaikan dalam rupa himbauan. Tradisi ini terancam punah karena tekanan dari ekspansi perkebunan komersial skala besar dan oleh penambangan batubara.

Apakah OIKN "berani" mengadopsi kearifan lokal yang baik ini dalam pengelolaan hutan dan lingkungan di IKN? Seluruh bumi Borneo akan mengacungkan jempol jika OIKN melakukannya. Kata "berani" digunakan di sini karena di luar sana sering terdengar ujaran, "Yang etnis-etnis gak cocok untuk IKN yang nasionalis". 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dialog Etnografi Borneo: Membangun Pemahaman tentang Keberagaman Kalimantan

Argumen antropologis pentingnya warga Balik dan Paser di IKN tetap hidup berkomunitas

IKN benar-benar inklusif? Ultimatum pembongkaran rumah warga asli indikasi ada yang akan disingkirkan

Speedboat ke pedalaman Mahakam

Speedboat ke pedalaman Mahakam
Martinus Nanang di dermaga Samarinda Ilir