Mario Dandy si anak pejabat Ditjen Pajak: Keberuntungannya sudah berakhir
![]() |
Ilustrasi (Pyxabay) |
Sekitar 45 tahun lalu saya adalah anak desa yang masuk kota. Sebagai anak desa saya merasa bukan siapa-siapa. Kepemilikan saya serba sangat minim, terutama soal harta benda. Terlalu jauh saya tertinggal dari teman-teman sekolah saya yang berasal dari kota.
Pemilikan harta jadi ukuran harga diri
Jadi sesungguhnya pada waktu itu secara bawah sadar bagi saya ukuran harga diri dan kepercayaan diri adalah apa yang dimiliki, utamanya harta benda. Faktanya saya tidak memenuhi ukuran itu. Maka minderlah saya.
Jadi pergolakan dan pilihan batin saya sebagai anak remaja kala itu adalah bagaimana menjadi bahagia tanpa harus menjadi kaya harta. Maklum saya belum melihat jalan untuk menjadi kaya. Kalau pergolakan dan pilihan batin itu mau dinilai sebagai mentalitas fatalistik, bisa juga. Namun sampai hari ini saya tidak menyesalinya; malah bersyukur.
Lavish lifestyle anak muda
Ketika kasus Mario Dandy si penganiaya David menguak gaya hidup si penganiaya, memori masa lalu saya itu tiba-tiba muncul.
Mario si anak pejabat Ditjen Pajak mempunyai gaya hidup lavish alias mewah. Eh, ternyata menurut berita media bapaknya juga sama. Jadi benar kalau pohon durian menghasilkan buah durian. Tetapi bukan bapaknya yang saya akan soroti, melainkan si Mario sendiri.
Sesungguhnya si Mario itu sangat beruntung. Nasib membawa dia lahir ke dalam keluarga berada. Tetapi dia juga malang karena kekayaan keluarga tidak membawa dia ke dalam kesadaran lain, yaitu bagaimana menjadi bahagia tanpa harus menjadi kaya harta. Terutama bagaimana menjadi bahagia tanpa pamer-pamer kemewahan. Atau, bagaimana menjadi kaya dengan tetap rendah hati.
Hal itu terlihat dari lavish lifestyle alias gaya hidup mewah tadi. Ketika gaya hidup itu dipamer-pamerkan, kelihatanlah bahwa dia mengandalkan harta sebagai identitas diri. Dia yakin bahwa identitas, martabat, dan harga diri melekat pada harta mewah yang dia pakai dan tunjukkan. Seolah-olah dia mau bilang, I shop therefore I am (saya belanja maka saya ada). Dengan itu dia mengira bahwa kekayaan memberikan kebahagiaan permanen.
Tapi kini dia sudah habis. Tindakan jahat membuatnya terpuruk. Kemewahan pun tidak bisa menyelamatkan dia dari ancaman penjara yang cukup lama. Tetapi kesempatan dia untuk menjadi lebih baik tidak habis. Dia harus memperjuangkannya, bukan lagi mengandalkan nasib.
Jangan takut menjadi kaya
Kekurangan harta tidak dengan sendirinya membuahkan kebahagiaan atau ketidakbahagiaan. Begitu juga kekayaan. Tidak ada efek otomatis.
Jika anda sudah berada dalam keluarga kaya, bersyukurlah. Jika anda sedang menapaki jalan menuju kaya, bersyukurlah. Jika anda sedang menyusun rencana dan strategi untuk menjadi kaya, semoga anda berhasil. Tidak perlu takut untuk menjadi kaya.
Sebagai orang kaya sekarang atau nanti hanya ini yang perlu anda ingat-ingat: Kekayaan itu mengandung kewajiban sosial, karena anda tidak pernah akan menjadi kaya tanpa orang lain. Mungkin ada baiknya semboyan ini dibatinkan: I love my neighbors therefore I am. Saya mengasihi sesama, maka saya ada.
Komentar
Posting Komentar