Keunikan Pengadilan Adat (Pengamatan seorang Antropolog Barat)
![]() |
Keadilan (ilustrasi) |
Antropolog Peter Just meneliti orang Dou Donggo selama 2 tahun di desa Doro Ntika di Bima, NTB. Suatu hari ketika dia sedang duduk-duduk di rumah temannya seorang kerabat temannya itu masuk ke dalam rumah dan memberitahu bahwa saudara iparnya bernama Ina Mone telah diserang oleh anak muda bernama La Ninde. Peter dan temannya segera ke rumah Ina Mone untuk melihat apa yang terjadi.
Di sana Ina Mone terduduk di lantai dan memperlihatkan satu sisi wajahnya yang diberi plester obat. Dia mengaku telah diserang oleh La Ninde. Juga diperlihatkan bajunya yang sobek karena serangan itu. Kerabat lelakinya marah dan mengancam untuk melakukan pembalasan dengan senjata tajam. Namun semua terdiam ketika Ama Tife datang dan mengatakan bahwa dia dan para tetua adat akan mengadakan sidang adat untuk menentukan keadilan.
Esok paginya pengadilan diadakan dan Ina Mone menunjukkan wajahnya yang diplester serta baju yang sobek. La Ninde mengaku meneriaki Ina Mone, tapi menolak telah melakukan kekerasan fisik. Ketika seorang anggota sidang bernama Ama Panci memarahi La Ninde suasana menjadi riuh dan La Nine akhirnya mengaku melakukan apa yang dituduhkan Ina Mode. La Ninde dihukum denda dan diwajibkan berlutut di hadapan Ina Mone. Ina Mone memberikan tamparan simbolik di kepala, lalu La Ninde pergi.
Sore hari Peter mendengar cerita sesungguhnya bahwa La Ninde tidak melakukan apa yang dituduhkan. La Ninde tidak bersalah. Jadi pengadilan itu tidak adil?
Teman Peter menjelaskan bahwa pengadilan bukannya tidak adil. “Apa yang dituduhkan kepada La Linde jauh lebih benar dari pada apa yang sesungguhnya terjadi”, katanya. Loh…?? Semua orang di desa tahu (dan Ina Mone melihatnya) bahwa La Ninde “mengganggu” La Fia, seorang gadis yang sudah bertunangan dengan seorang pria yang kebetulan tidak sedang berada di desa Doro Ntika.
Ina Mone telah menyampaikan peringatan melalui ibu La Ninde, yang kemudian menegur La Ninde. Hal itu membuat La Ninde marah. Dia mendatangi rumah Ina Mone dan mengancamnya, tanpa melakukan serangan apa pun. Tapi kedatangan dan ancaman La Ninde menurut adat adalah sebuah pelanggaran norma etiket yang serius.
Apa yang menarik dari peristiwa ini? Pertama, dalam perselisihan sering pokok persoalan bisa berbeda dari apa yang sebenarnya. “Kasus penyerangan bisa menjadi kasus tentang alienasi dan afeksi”, kata Peter.
Kedua, dalam kasus adat kita perlu melihat ke luar jangkauan kejadian yang superfisial dari sebuah kasus. Kasus La Ninde memperlihatkan bahwa isu kesetiaan seorang tunangan adalah sensitif, bahkan eksplosif, dalam komunitas tersebut.
Selain itu untuk sudut pandang kita (dan masyarakat lain yang berbeda) kasus La Ninde menimbulkan pertanyaan-pertanyaan fundamental mengenai universalitas “keadilan”. Mengapa bukti fisik yang ditunjukkan Ina Mone diterima warga desa, padahal palsu? Apa artinya untuk pengertian kita tentang “tanggung jawab” dan “kewajiban” jika La Ninde dihukum menurut apa yang sebenarnya dia telah lakukan, tanpa menimbulkan kesan pada masyarakat bahwa dia adalah korban ketidakadilan?
Apa maknanya bagi perasaan keadilan kita jika kita ingin menerapkannya secara universal? Menjadi “manusia” ternyata bisa berbeda dalam konteks lokal dengan konteks yang lebih besar, antara yang spesifik dan yang umum.
Sumber: John Monaghan & Peter Just. 2000. Social and Cultural Anthropology: a Very Short Introduction. Oxford: Oxford Universiry Press, pp. 15-21.
Komentar
Posting Komentar